I
Jam-jam berdetak.
Serasa detak jantung. Serasa hidup. Serasa mengancam. Bukan fatamorgana. Bukan
ilusi "Itu hanya mimpi buruk sayang." Tidak ibu, itu bukan mimpi.
Sebab dia nyata sekali. Dia punya kaki. Lalu aku dia ajak lomba lari. Dia cepat
sangat. Aku didahului dia. Lalu dia coba kukejar. Terjerembab aku. Dia
meledekku. Kalah terus aku. Dia menang lagi. Satu saat pisau dibawa dia. Lalu
dia coba tusuk aku. Dengan pisau keburukan masa lalu. Lari aku tapi dia buntut
aku kayak bayangan. Sudah disia-siakan aku sebagiandirinya di masa lalu makanya
coba balas
dendam dia. Dia
waktu. Kriiiiiiiiiiiing ! Weker teriaki aku pagi-pagi (ternyata sudah jam lima)
Padahal mimpi buruk lagi. Harus cepat siap ke sekolah aku. Waktu di mimpi
maupun nyata sama saja. Sama bahayanya. Sama mengancamnya.
II
Bukan kami saja
yang dikejar waktu. Pegawai kantoran ibukota juga Istilah boleh modern :
deadline ! Waktu mencekik. Kerjaan numpuk. Tambah udara kotor khas ibukota lagi
mencekik. Akibatnya gampang gila. Mudah putus asa. Mudah gantung diri di
ibukota. Buruh pabrik tak mau kalah.
Pagi pergi-lembur-malam pulang-sampai rumah subuh-pagi pergi lagi. Gaji
dapat sedikit. Cukup buat makan seadanya. Cukup buat sekolahkan anak-anak di
smp seatap. Tak boleh telat. Karna telat berarti dipecat. Tak dapat uang. Anak
istri tak dapat makan.
III
Padahal kalau
soal buang-buang waktu wakil rakyat jagonya. Waktu sidang dipakai
buat tidur.
Akibatnya banyak kebijakan yang ngelantur. Bikin rakyat bingung. Makin gerah
sama waktu dan para pembuang waktu. Sadarlah! Waktu bukan dipakai buat menimbun
harta. Waktu dipakai buat diisi susu dan
madu. Jangan sampai saat kami berkata "waktumu sudah habis. Kembalikan
mandat yang pernah kami berikan padamu dulu." setetes madu pun belum jua
kau berikan kepada kami. Menurtmu apa kata si penjaga waktu di akhirat nanti?
IV
Waktu terus memburuku
hingga ke akhir
nuntut diisi susu dan madu.
Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar